Rabu, 23 April 2008

tak terpikir

menulis kisahku?
alangkah buta dan tulisanya aku
mengapa tak pernah terpikirkan sebelumnya?
mengapa harus bergelut dengan gagasan-gagasan yang terlampau besar?
mengapa aku hanya melihat semut di seberang lautan?
mengapa aku tak melihat gajah di pelupuk mata?
gila....!

Jumat, 18 April 2008

usai

selesai sudah,
kuboyong sebagian dari masa laluku
ke tempat ini,
sebuah dunia kecil
dengan huruf kecil...

akhirnya..

setelah mengaduk-aduk awang-awang
akhirnya kutemukan kembali
yang selama ini aku cari
sosok yang pernah mengisi
salah satu ruangku
dalam dimensi waktu
masa lalu...

dosa siapa?

kudengar suara jerit tangismu
sesepi gunung
kulihat bening bola matamu
sesejuk gunung

oh, engkau anakku
yang menanggungkan noda
sedang engkau terlahir
mestinya sebening kaca

apa yang dapat kubanggakan?
kata maafku pun belum kau mengerti
dosa siapa? ini dosa siapa?
salah siapa? ini salah siapa?
mestinya aku tak bertanya lagi

kudengar ceria suara tawamu
menikam jantung
kulihat rona segar di pipimu
segelap mendung

oh, engkau anakku
yang segera tumbuh dewasa
dengan selaksa beban
mestinya sesuci bulan

apa yang dapat kudambakan?
kata sesalku pun belum kau mengerti
dosa siapa? ini dosa siapa?
salah siapa? ini salah siapa?
jawabnya ada di relung hati ini
(dosa siapa? ini dosa siapa?, ebiet g ade)

kangen

engkau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta.
engkau tak akan mengerti segala lukaku
kerna cinta telah tancapkan pisaunya.
engkau telah menjadi racun bagi darahku.
dan apabila aku dalam kangen dan sepi
akulah tungku tanpa api.
(kangen, ws rendra)

sepenggal episode di tengah malam

"CERITAKAN padaku tentang Alina."
Maka seroang pencerita yang baik sekali pun akan tertegun. seperti ada paku yang menancap tepat di atas kepala. Semakin lama semakin dalam. Darah mengalir. Atau lebih tepatnya mengucur. Dan ketika kujilat terasa asin, itu adalah keringat yang mengucur justru di dini hari yang sangat dingin.
"Bagaimana kau temukan nama itu, sayangku?"
"Dalam mimpi."
"Mimpi? Aku tak mengerti."
"Ya, mimpi. Yang datang ketika kita sedang tidur. Yang kata orang menjadi bunga tidur. Yang bagi sebagian orang memiliki makna jika kita bisa mengejanya. Yang..."
"Kalau itu aku tahu," selaku. "Tapi maksudku, bagaimana kau bisa tahu ada nama Alina?"
"Ia selalu hadir dalam mimpiku. Selalu."
"Kau mengenalnya, istriku?"
"Tidak. Bahkan melihatnya pun belum. Tapi aku yakin, ia ada. Sangat nyata."
"Bagaimana kau bisa seyakin itu?"
"Karena setiap malam ia hadir. Menyapaku. Mengulurkan tangannya seperti hendak menjabat tanganku."
"Dan kau terima jabatan tangannya?"
Ia menggeleng.
"Kenapa?"
"Karena kau tidak mengenalnya."
Jawaban yang sangat sederhana.
"Lalu mengapa kau tanyakan nama itu kepadaku?"
"Karena kau mengenalnya. Sangat mengenalnya."
"Kau yakin?"
Ia mengangguk.
"Bagaimana kau bisa yakin?"
"Karena setiap kali datang, ia selalu bersamamu."
"Dalam mimpimu itu?"
"Ya. Dalam mimpiku."
"Itu hanya mimpi, Penari sukmaku."
"Semua selalu berawal dari mimpi, Suamiku."
"Tapi tidak semua mimpi selalu berarti kenyataan."
"Dan tidak semua mimpi juga hanya hanya berakhir sebagai mimpi bukan? Maka ceritakanlah tentang Alina."
Dan aku tak bisa apa-apa. Bahkan tukang cerita yang baik sekali pun tak akan pernah mampu melakukannya. Sebab cerita akan membawa luka. Dan luka sangat menyakitkan.
Tapi membiarkannya tetap tersembunyi sama saja dengan menyimpan magma yang setiap saat bisa meletup. Magma yang meletup-letup, menerbangkan batu-batu dan menyisakan bencana.
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku berhadapan dengan dilema. Tak yakin apa yang harus aku lakukan. Aku hanya yakin, keduanya mempunyai arti bagiku. Istriku dan Alinaku...
(jumat tengah malam, 18.07.03)

sepotong cinta untuk alina

Ada yang melesat setiap kali senja datang, Alina. Bukan pelangi yang mewarnai langit, bukan awan yang menjemput hujan, bukan angin yang mengirim kesejukan. Yang melesat adalah wajahmu. Wajah yang kukenali -- sangat kukenali -- tapi tetap tak bisa kupahami. Wajah yang kuakrabi tapi tak bisa kumengerti.

Keterbatasan sangat membelengguku, Alina. Aku seperti budak kulit hitam dengan gemerincing rantai di kedua kakiku. Para budak yang hanya bisa bernyanyi sementara kebebasan masih jauh di bawah angan-angan. Kenyataan yang pahit, tapi tak bisa dipungkiri. Seperti para budak yang niscaya tak ingin dilahirkan sebagai kulit hitam. Kalau boleh memilih, mereka pasti lebih suka dilahirkan sebagai kulit putih. Atau paling tidak kulit sawo matang. Tapi, hidup tak selamanya bisa memberi kita pilihan. Hidup tak selalu memberi kesempatan kepada kita untuk menimbang. Hidup berjalan dan kita terhanyut di dalamnya.

Maafkan aku, Alina. Jika di setiap senja, aku selalu menatap wajahmu di antara mega-mega. Aku selalu melihat wajahmu tersenyum. Wajahmu yang terbang bersama burung-burung yang berlomba mencari sarang. Dan aku hanya bisa menatapnya. Kamu terlalu tinggi untuk direngkuh. Bahkan mengejarnya pun aku tak mampu. Rantai ini membelenggu kakiku. Untuk sekadar melangkah pun aku harus bersusah payah. Aku hanya bisa duduk termenung, di teras rumah mungilku, menatapmu terbang dengan riang.

Seperti burung, kamu bebas terbang, Alinaku. Tak ada sangkar yang membatasi ruangmu. Tak ada rantai yang membelenggu kakimu. Meski sesungguhnya aku sangat ingin menaruhmu dalam sangkar hatiku. Aku sangat ingin menempatkamu dalam relung sukmaku, memahat namamu dalam pusara hatiku.

(engkaulah sang mentari, yang menyinari bumi dan akan menghangatkan gairah hatiku. engkaulah embun pagi, yang membasahi tanah dan akan menghapus seluruh lelah jiwaku)

Alina yang telah membunuh sepiku dengan satu kata,
Kegelisahan yang kamu rasakan, sesungguhnya juga kegelisahan yang aku rasakan. Kamu adalah aku, dan aku adalah kamu. Kita menjadi dua sisi keping mata uang yang saling bertolak-belakang namun selalu melekat dan saling melengkapi. Hanya zaman yang tampaknya tak mau diajak kompromi. Kalau aku boleh memilih, aku ingin dilahirkan sezaman dengan kamu. Kalau kamu boleh memilih, niscaya kamu pun ingin dilahirkan sezaman dengan aku. Tapi apa yang bisa kita lakukan ketika hidup menghendaki kita terlahir dari orde yang berbeda? Meski sesungguhnya, orde dan zaman tak akan mampu membendung keinginan dua orang untuk menyatu. Sungguh, aku ingin menyatu denganmu. Tapi aku menjadi siang dan kamu malam. Kita terpisah oleh senja (ah andaikata aku bisa menjadi senja, pasti aku bisa datang untuk menjemput malam, seperti katamu).

Ah, cinta, Alina. Cinta. Kalau orang lain mengenal senja sebagai sebuah perpisahan, aku ingin mengenal senja sebagai sebuah cinta. Aku ingin memotong senja dan mengantonginya untukmu, Alina. Tapi aku tidak ingin dikejar-kejar orang yang kehilangan senja di sebuah pantai. Aku tak ingin berlarian di jalan tol. Meski aku akan menjadi pahlawan di matamu, tapi itu sangat konyol. Toh, hidup bukan hanya ada aku dan ada kamu. Hanya kebetulan saja, kita berada dalam satu episode yang sama. Kita disatukan oleh kata-kata. Dan kata-kata itu telah mengantar kita untuk membuka rasa.

Aku sayang kamu, Alina.


Dariku,

Sukab

Oh, MIRA SATO, maafkan aku yang telah menculik kedua tokohmu......