Jumat, 18 April 2008

sepotong cinta untuk alina

Ada yang melesat setiap kali senja datang, Alina. Bukan pelangi yang mewarnai langit, bukan awan yang menjemput hujan, bukan angin yang mengirim kesejukan. Yang melesat adalah wajahmu. Wajah yang kukenali -- sangat kukenali -- tapi tetap tak bisa kupahami. Wajah yang kuakrabi tapi tak bisa kumengerti.

Keterbatasan sangat membelengguku, Alina. Aku seperti budak kulit hitam dengan gemerincing rantai di kedua kakiku. Para budak yang hanya bisa bernyanyi sementara kebebasan masih jauh di bawah angan-angan. Kenyataan yang pahit, tapi tak bisa dipungkiri. Seperti para budak yang niscaya tak ingin dilahirkan sebagai kulit hitam. Kalau boleh memilih, mereka pasti lebih suka dilahirkan sebagai kulit putih. Atau paling tidak kulit sawo matang. Tapi, hidup tak selamanya bisa memberi kita pilihan. Hidup tak selalu memberi kesempatan kepada kita untuk menimbang. Hidup berjalan dan kita terhanyut di dalamnya.

Maafkan aku, Alina. Jika di setiap senja, aku selalu menatap wajahmu di antara mega-mega. Aku selalu melihat wajahmu tersenyum. Wajahmu yang terbang bersama burung-burung yang berlomba mencari sarang. Dan aku hanya bisa menatapnya. Kamu terlalu tinggi untuk direngkuh. Bahkan mengejarnya pun aku tak mampu. Rantai ini membelenggu kakiku. Untuk sekadar melangkah pun aku harus bersusah payah. Aku hanya bisa duduk termenung, di teras rumah mungilku, menatapmu terbang dengan riang.

Seperti burung, kamu bebas terbang, Alinaku. Tak ada sangkar yang membatasi ruangmu. Tak ada rantai yang membelenggu kakimu. Meski sesungguhnya aku sangat ingin menaruhmu dalam sangkar hatiku. Aku sangat ingin menempatkamu dalam relung sukmaku, memahat namamu dalam pusara hatiku.

(engkaulah sang mentari, yang menyinari bumi dan akan menghangatkan gairah hatiku. engkaulah embun pagi, yang membasahi tanah dan akan menghapus seluruh lelah jiwaku)

Alina yang telah membunuh sepiku dengan satu kata,
Kegelisahan yang kamu rasakan, sesungguhnya juga kegelisahan yang aku rasakan. Kamu adalah aku, dan aku adalah kamu. Kita menjadi dua sisi keping mata uang yang saling bertolak-belakang namun selalu melekat dan saling melengkapi. Hanya zaman yang tampaknya tak mau diajak kompromi. Kalau aku boleh memilih, aku ingin dilahirkan sezaman dengan kamu. Kalau kamu boleh memilih, niscaya kamu pun ingin dilahirkan sezaman dengan aku. Tapi apa yang bisa kita lakukan ketika hidup menghendaki kita terlahir dari orde yang berbeda? Meski sesungguhnya, orde dan zaman tak akan mampu membendung keinginan dua orang untuk menyatu. Sungguh, aku ingin menyatu denganmu. Tapi aku menjadi siang dan kamu malam. Kita terpisah oleh senja (ah andaikata aku bisa menjadi senja, pasti aku bisa datang untuk menjemput malam, seperti katamu).

Ah, cinta, Alina. Cinta. Kalau orang lain mengenal senja sebagai sebuah perpisahan, aku ingin mengenal senja sebagai sebuah cinta. Aku ingin memotong senja dan mengantonginya untukmu, Alina. Tapi aku tidak ingin dikejar-kejar orang yang kehilangan senja di sebuah pantai. Aku tak ingin berlarian di jalan tol. Meski aku akan menjadi pahlawan di matamu, tapi itu sangat konyol. Toh, hidup bukan hanya ada aku dan ada kamu. Hanya kebetulan saja, kita berada dalam satu episode yang sama. Kita disatukan oleh kata-kata. Dan kata-kata itu telah mengantar kita untuk membuka rasa.

Aku sayang kamu, Alina.


Dariku,

Sukab

Oh, MIRA SATO, maafkan aku yang telah menculik kedua tokohmu......

Tidak ada komentar: